Senin, 02 Agustus 2010

PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT
DALAM MENDUKUNG PENANGANAN DAS TERPADU
A. Latar Belakang
Pengelolaan hutan rakyat sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang dirasakan belum optimal saat ini. Mengelola hutan rakyat dengan baik dan intensif, diharapkan akan mengurangi tekanan yang hebat terhadap hutan negara dan lambat laun setidaknya dapat ditekan. Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Selain itu potensi lahan masyarakat dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan lahan penentu kelestarian suatu DAS khususnya DAS Solo. Lahan sebagai mata pencaharian dan penopang kehidupan pemiliknya mengakibatkan dinamika penggunaan lahan dinamis seiring dengan kebutuhan pemiliknya, yang ditandai dengan perubahan fungsi lahan secara cepat dari lahan hutan, kebun, sawah dalam waktu tidak lama berkembang menjadi pemukiman, atau hutan rakyat yang ditebang menjadi tegalab dsb.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, khususnya di Pulau Jawa, tuntutan terhadap manfaat sumber daya lahan (SDL) juga semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat kenaikan permintaan berbagai komoditi ekonomi yang berpengaruh langsung terhadap perubahan dan sikap masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya lahanya, juga keindahan serta kesejukan alam. Contoh perubahan diantaranya terhadap tingginya permintaan komoditas pertanian, kayu perkakas, kayu bakar, lapangan pekerjaan, pemukiman, bahan baku industri, dan jasa lingkungan hidup. Pengelolaan SDL bagimanapun tidak hanya ditujukan bagi terpenuhinya kebutuhan produk kehutanan yang berupa kayu. Masih sangat banyak manfaat lain yang tetap harus dijaga keberlanjutannya. Berbagai upaya yang ditujukan bagi tetap berlangsungnya keberadaan manfaat dan fungsi lahan terus diusahakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya dalam rangka pelestrian DAS.
Sebagaimana bahasan diatas, maka sudah saatnya diperlukan pemahaman segala lapisan masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola lahan dengan memanfaatkan potensi secara maksimal dan tetap menjaga kelestariannya.
Isu menarik lain dalam pengelolaan lahan khususnya hutan rakyat adalah peluang akan kebutuhan kayu yang dimungkinkan semakin meningkat di tahun tahun mendatang, dikarenakan adanya degradasi hutan yang begitu besar (± 2,5 juta ha/th) maka terjadi penurunan kemampuan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan kayu bagi industri. Sementara kebutuhan industri kehutanan sangat besar (72 juta m3/thn), Oleh karena itu alternatif pemenuhan kebutuhan industri berasal dari hutan rakyat. Sejarah peran hutan rakyat menurut Sudarmalik dkk (2006) tercatat telah diperoleh produksi kayu rakyat sebesar 500.000 m3 sampai 1.500.000 m3 atau mampu mensupply sekitar 0,69% sampai 2,08% dari total kebutuhan bahan baku industri kehutanan (suplly tersebut termasuk hasil dari HTI, reboisasi dan penghijauan) dan menurut Purnomo dkk (199) Di beberapa daerah di Pulau Jawa, hutan rakyat didominasi oleh kayu-kayu yang dapat mensuplai kebutuhan bahan baku industri kehutanan.
B. Maksud dan Tujuan
Materi paparan ini dimaksudkan sebagai bahan pelatihan Petani Hutan Rakyat Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah di Kabupaten Sragen. Sedangkan tujuannya agar pelatihan dapat berjalan sebagimana yang diharapkan, yaitu terbentuk dan terbinanya pengetahuan dalam pengembangan hutan rakyat secara terpadu.
C. Pengertian
Hutan negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas lahan yang tidak dibebani oleh hak milik,
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perseorangan, maupun bersama-sama atau badan hukum.
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.
Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

B. DASAR PEMIKIRAN
Apa yang telah terjadi pada alam kita (DAS) saat ini merupakan buah dari apa yang telah dilakukan oleh kita sebelumnya. Namun demikian tidak benar pula apabila kita terus menyalahkan apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya tanpa adanya upaya keras dari kita untuk memperbaiki keadaan. Apa yang dilakukan masyarakat sebelumnya, walaupun merupakan suatu kekurangan adalah suatu proses atau perjalanan sejarah yang tidak perlu terlalu disesali, tetapi harus dikaji agar tidak terulang pada masa selanjutnya. Yang harus dilakukan kita saat ini adalah bagaimana menyongsong masa depan dan tidak terjebak dalam kungkungan kesalahan-kesalahan masa lalu.
Hutan dan Lahan yang terdegradasi adalah salah satu contoh kesalahan masa lalu yang berdampak sangat luas terhadap kondisi DAS secara keseluruhan baik fisik maupun sosial. Suatu kepastian bahwa hutan dan lahan sebagai pendukung kehidupan manusia sangatlah penting, bahkan beberapa wilayah hutan juga sebagai penopang utama kehidupannya, diantaranya terselenggaranya usahatani dalam penyediaan pangan karena tersedianya air secara kontinyu, kebutuhan air minum yang sehat, berkembangnya kehidupan satwa dan lainya, itu semua dapat diwujudakan apabila ada keseimbangan alam yaitu terpeliharanya hutan dan lahan. Lahan dalam suatu wilahay DAS sangat berpengaruh terhadap kelestarian DAS, karena begitu kompleksnya kepentingan maka keterpaduan harus menjadi prioritas pengelolaan sumber daya alam secara bersama. Permasalahannya kini, pengelolaan lahan seperti apakah yang harus dikembangkan agar mampu menyediakan kayu dan ikutanya serta menopang keseimbangan alam dalam mendukung usaha lainya yang aktual bagi masyarakat ini secara berkelanjutan, yaitu Keterpaduan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pengelolaanya.
Pengelolaan lahan dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat yang dilaksanakan secara terpadu pada hakekatnya merupakan hutan rakyat yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem dalam suatu unit DAS sehingga aliran nutrien dan energi terjadi secara seimbang. Keseimbangan inilah yang akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dalam suatu luasan tertentu dalam satuan DAS yang lestari.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensinya untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.
2.1. Permasalahan Hutan Rakyat
Tradisi pengelolaan HR yang telah mengakar di kalangan petani sangat baik untuk kita jadikan pelajaran. Akan tetapi sebagaimana umumnya kondidi petani pedesaan, perencanaan pengaturan hasil HR, seperti prediksi nilai tebangan akhir, tebangan penjarangan, dan output kegiatan-kegiatan lain dari hutan rakyat, masih belum tersusun dengan baik. Banyak permasalahan yang ditemui dalam melaksanakan tahap-tahap pengelolaan hutan rakyat untuk memperoleh hasil tebangan maksimal dengan tetap memperhatikan asas kelestarian. Penguatan kelembagaan masyarakat, sangat diperlukan pada tahap-tahap awal pengembangan hutan rakyat. Permasalahan utma di kalangan petani pengelola hutan rakyat, mencakup dua hal yakni:
Aspek Bisnis dan Sosial
Aspek bisnis dan sosial menyangkut masalah-masalah ekonomi, organisasi, administrasi, akuntansi, statistik, hukum, dan pemasaran hasil.
Aspek Teknologi
Aspek teknologi menyangkut masalah-masalah sistem silvikultur, teknologi ukur kayu, eksploitasi, teknologi hasil hutan, satwa liar, rekreasi dan teknik sipil.

Untuk itulah banyak diperlukan pengkayaan ide bagi tercipatanya sistem pengaturan hasil hutan rakyat yang sesuai dengan pola dan kondisi pengelolaan di masyarakat. Pengaturan hasil hutan rakyat yang akan dibahas sebagai upaya meraih berbagai tujuan, antara lain:

(a) Tujuan Silvikultur
Yaitu untuk memperoleh riap tahunan yang maksimum. Tujuan ini dapat dicapai dengan menentukan umur tebang atau rotasi tebang yang tepat, penjarangan yang tepat agar memberikan ruang tumbuh yang cukup kepada tegakan tinggal dan mengadakan perlindungan terhadap berbagai gangguan yang dapat merusak tegakan. Untuk itu perlu adanya sistem silvikultur yang mantap untuk menjamin berhasilnya permudaan tanaman.

(b) Tujuan Ekonomis
Yaitu untuk mencapai hasil yang lestari. Tujuan ini dapat dipenuhi bila volume hasil yang dipungut sama besarnya dengan volume riap pertumbuhan dari seluruh tegakan pada waktu itu dalam satu unit kekekalan.
(c) Tujuan Silvikultur dan Ekonomis
Yaitu dicapainya riap pertumbuhan yang maksimum dan hasil produksi yang lestari hendaknya dengan biaya yang semurah mungkin agar petani memperoleh keuntungan yang optimal.

Beberapa hal di muka secara ideal belum dapat diterapkan dalam penanganan hutan rakyat, mengingat berbagai keterbatasan yang ada. Namun bukan berarti langkah harus berhenti, sebab bagaimanapun potensi dan semangat yang terkandung dalam pengelolaan hutan rakyat telah cukup memberikan bukti akan terjaminnnya keberadaan hutan.
2.2. Tinjauan Umum Hutan Rakyat
Seperti disebutkan diatas, hutan rakyat adalah hutan yang dibebani hak milik, jadi pembeda pada hutan rakyat adalah pada aspek kepemilikan. Namun demikian karakteristik biofisik antara hutan negara maupun hutan rakyat tidak berbeda. Ada 2 (dua) pola pengelolaan hutan rakyat di wilayah DAS Solo yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisonal, yaitu :

1. Pola monokultur

Pola ini hanya menanam satu jenis pohon dalam suatu hamparan lahan. Contoh dari pola monokultur ini adalah :
Hutan rakyat sengon di Jawa. Hutan rakyat sengon merupakan salah satu bentuk hutan rakyat yang terdapat di seluruh Jawa. Dalam pengelolaannya, hasil utama yang diharapkan dari pola ini adalah hasil kayu sengon. Kontribusi sengon terhadap rumah tangga di Kabupaten Banyumas rata-rata mencapai 21% sampai dengan 36% ( Suharjito, 1998).

2. Pola campuran (Agroforest)

Pola campuran atau agroforest ini dilakukan dengan mengkombinasikan antara tanaman kehutanan (jangka panjang) dengan tanaman pertanian (jangka pendek) dalam suatu hamparan lahan dengan pengaturan spasial dan temporal. Beberapa pola tanaman campuran ini merupakan ciri umum yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat. Bentuk agroforest ini memiliki keuntungan dibanding dengan pola monokultur.
2.3. Karakteristik Hutan Rakyat
Dari praktek pola pengelolaan hutan rakyat (dalam konteks hak milik personal maupun komunal) terlihat jelas bahwa hutan rakyat memiliki peranan yang penting, dari aspek ekologi sampai pembangunan wilayah. Sementara itu bila dilihat dari pola pengelolaan antara pola monokultur dan pola campuran (agroforest) maka terlihat kecenderungan bahwa pola campuran mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan masyarakat dan memiliki peranan yang tinggi terhadap kondisi ekologis. Salah satu hasil hutan rakyat campuran yang sangat berperan adalah hasil hutan bukan kayu. Melihat besarnya peranan hasil hutan bukan kayu maka perlu adanya perhatian terhadap usaha pengembangan hasil hutan hutan bukan kayu dalam pengelolaan hutan rakyat.
2.4. Manajemen Hutan Rakyat
Pada umumnya hutan rakyat tidak berwujud suatu kawasan hutan yang murni dan kompak, melainkan berdiri bersama-sama dengan penggunaan lahan yang lain, seperti tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak atau dengan tanaman pangan lainnya yang biasanya disebut sebagai pola agroforestry. Menurut Fandeli (1985) Agroforestry adalah suatu sistem pertanaman yang merupakan kegiatan kehutanan, pertanian dan atau perikanan, ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Achil dalam Satjapradja (1981) mengatakan bahwa Agroforestry merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pertanian, bentuk lapangan penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan
Pola penanaman agroforestry pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua strata atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yag ada. Di samping itu pola agroforestry memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai ( intangible benefit ), seperti fungsi keindahan, fungsi perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, pendidikan nonformal bagi anak-anak dan berbagai fungsi sosial lainnya (Sumitro, dalam Djuwadi 1991).
2.5. Pemasaran Hasil Hutan Rakyat
Sumitro (1985), mengemukakan bahwa tujuan akhir dari pemasaran hasil hutan rakyat adalah untuk memperoleh efisiensi pasar dengan cara memperpendek rantai pasar, sehingga harga akan menjadi lebih baik terutama di tingkat petani. Untuk sampai ke tangan konsumen, suatu barang dapat dipasarkan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung , apabila barang yang dipasarkan tidak melalui saluran tata niaga, jadi tidak ada lembaga lain yang terlibat kecuali produsen awal dan konsumen akhir.
Secara tidak langsung, apabila diantara produsen dan konsumen ada rantai pemasaran yang disebut saluran tata niaga (Dressler, 1970 ; Kottler, 1986). Menurut Dressler (1970), kehadiran pedagang perantara sering diperlukan, karena selain membantu menyederhanakan pelaksanaan fungsi pemasaran yang seharusnya dibebankan kepada produsen juga memperlancar arus komoditas. Namun sering terjadi, justru kehadiran pedagang perantara merupakan kendala bagi lancarnya arus barang, jika saluaran tata niaga sudah sedemikian panjang, sehingga mengakibatkan tidak efisien dan tidak adil dalam pembagian keuntungan/ profit margin (Heynes, 1977)

II. ASPEK PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT.

3.1. Aspek Teknis
Aspek teknis dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat ada tiga kegiatan pokok yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu
3.1.1. Penanaman
Penanaman hutan rakyat ada 3 aspek, yaitu
1) Penyiapan lahan
Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani dalam menyiapkan lokasi untuk kegiatan penanaman. Kegiatan persiapan lahan ini biasanya bersamaan waktunya dengan kegiatan persiapan lahan untuk tanaman pertanian. Kegiatan persiapan lahan biasanya dilakukan pada bulan Agustus dan September, karena pada bulan-bulan tersebut belum turun hujan. Lamanya kegiatan persiapan lahan tergantung pada kondisi masing-masing petani yaitu berdasarkan luas kepemilikan lahan, dan ada/ tidaknya tenaga kerja yang cukup. Biasanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama dalam mekanisme kerja kelompok. Dengan menggunakan mekanisme kerja kelompok kegiatan persiapan lahan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu 1-2 hari untuk tiap kepemilikan lahan. Kegiatan persiapan lahan terdiri atas kegiatan pengolahan tanah, pemasangan acir, pembuatan lubang tanaman, dan pemberian pupuk. Pengolahan tanah dilakukan dengan mencangkul dan menggemburkan tanah dalam rangka mempersiapkan lahan garapan untuk penanaman tanaman semusim. Penggemburan tanah dilakukan dengan membalikkan tanah, pendangiran tanah dan pemberian pupuk. Biasanya pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang. Jumlah pupuk kandang yang dicampurkan dengan tanah disesuaikan dengan kebutuhan. Pengolahan tanah dan pemberian pupuk kandang biasanya dilakukan sebelum turun hujan agar pekerjaan menjadi relatif lebih ringan karena kondisi pupuk kering sehingga mempermudah pengangkutan ke lokasi penanaman.
Untuk penyiapan lahan tanaman berkayu dilakukan pemasangan acir, pembuatan lubang tanaman dan pemberian pupuk kandang atau kompos. Pembuatan lubang tanaman dilakukan dengan jarak tanam 4m x 4m atau 2 m x 4 m lebar bidang olah teras untuk bentuk tumpangsari umumnya lahan subur, dan 2m x 2m untuk lahan yang menggunakan bentuk hutan murni, umumnya lahan kurus /tidak subur. Pemasangan acir dilakukan dengan menggunakan acir yang terbuat dari bambu atau ranting cabang yang dapat diperoleh di sekitar lahan yang sedang disiapkan. Panjang acir 1,5 m dengan bagian yang ditanam sedalam 0,5 m. Untuk lubang tanaman dibuat dengan ukuran (20x20x30) cm. Setelah lubang tanaman siap kemudian diberi pupuk kandang ke dalam setiap lubang sebanyak 1-2 kg. Kegiatan ini juga membutuhkan waktu kurang lebih 1-3 hari jika dikerjakan secara kelompok. Setelah semua kegiatan selesai, lahan dibiarkan sampai turun hujan, baru lahan mulai ditanami.
2) Persiapan bibit tanaman
Bibit tanaman berasal dari dua sumber yaitu dari permudaan generatif dengan menggunakan cabutan dan permudaan vegetatif dengan menggunakan trubusan. Dilihat dari asal permudaannya maka HR dapat diklasifikasikan sebagai Middle Forest karena berasal dari permudaan generatif atau vegetatif. Kedua bentuk hutan rakyat, baik bentuk murni maupun tumpangsari menggunakan kedua tipe permudaan tersebut. Untuk jenis Jati, Akasia, dan Mahoni permudaan generatif diperoleh dari anakan alami yang cukup melimpah, sedangkan permudaan vegetatif diperoleh dari trubusan pohon yang telah ditebang.
Petani umumnya lebih menyukai menggunakan permudaan yang berasal dari trubusan, terutama untuk hutan rakyat bentuk tumpangsari, karena memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang berasal dari cabutan. Hal ini dimungkinkan karena permudaan yang berasal dari trubusan.
3) Penanaman
Kegiatan penanaman tanaman tahunan biasanya dilakukan bersamaan dengan penanaman tanaman semusim, yaitu pada saat hujan turun pertama kali sekitar awal bulan Oktober. Lama kegiatan ini juga tergantung dari besarnya volume pekerjaan, akan tetapi biasanya kegiatan ini dilakkan dalam bentuk kerja kelompok sehingga hanya membutuhkan waktu 1-2 hari untuk menyelesaikannya. Kegiatan penanaman dilakukan pada awal musim penghujan dengan harapan tanaman tahunan dan tanaman semusim mendapatkan air yang cukup. Tanaman semusim yang ditanam adalah Padi ( Gogo Rancah ), Jagung, Kacang, Kedelai, Ketela Pohon, dan rumput-rumputan, sedangkan tanaman kayu yang ditanam adalah Jati, Akasia, Mahoni, dan jenis yang lain. Untuk memacu pertumbuhan baik tanaman pertanian maupun tanaman berkayu ditambah dengan pemberian pupuk TSP. Pemberian pupuk kimia tersebut hanya bersifat tambahan, yaitu jika pemberian pupuk kandang dan kompos dirasa masih kurang.
3.1.2. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman tahunan tidak terlepas dari tata waktu ( pranoto mongso ) pengelolaan tanaman pertanian, karena kegiatan itu biasanya dilakukan bersamaan atau berurutan waktunya dengan kegiatan pengelolaan tanaman pertanian. Aspek pemeliharaan tanaman tahunan terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(1) Rehabilitasi Teras dan Saluran Pembuangan Air (SPA/SPAT)
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan tanaman tahunan, karena tanaman tahunan pada hutan rakyat biasanya berada pada tepi teras sehingga kesempurnaan dan kestabilan bangunan teras merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan tanaman. Menurut masyarakat esensi dari kegiatan ini adalah untuk menyempurnakan bangunan teras sehingga dapat mengurangi degradasi lahan akibat terjadinya erosi sehingga kualitas lahan dapat terjaga.
(2) Pendangiran Tanah dan Penyulaman Tanaman
Kegiatan ini biasanya dilakukan secara bersamaan, yaitu pada saat petani tidak terlibat dalam kegiatan pengelolaan tanaman semusim. Pendangiran tanah dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tercipta kondisi aerasi dan drainase tanah yang baik, sedangkan penyulaman tanaman dimaksudkan untuk mengganti tanaman yang mati guna meningkatkan keberhasilan tanaman. Bibit tanaman untuk penyulaman berasal dari cabutan anakan alami yang terdapat di sekitar areal hutan rakyat.
(3). Pemupukan
Kegiatan pemupukan dilakukan bersamaan dengan kegiatan penanaman tanaman palawija berupa kacang tanah. Pada saat penanaman kacang tanah tersebut dilakukan pendangiran tanah yang dilanjutkan dengan pemupukan.
(4). Penyiangan
Kegiatan penyiangan dilakukan pada bulan Juni-Juli setelah kegiatan panen kacang tanah dan ketela pohon. Penyiangan dilakukan dengan tujuan membersihkan lahan dari gulma, rumput dan tanaman penggangu lainnya. Bersamaan dengan kegiatan itu, dilakukan pula pembersihan lahan dari sisa-sisa hasil panenan. Hasil kegiatan itu merupakan sumber tambahan untuk mendapatkan hijauan makanan ternak. Hasil kegiatan penyiangan berupa rumput-rumputan dan batang tanaman kacang dapat digunakan untuk hijauan makanan ternak apalagi pada bulan Juni-Juli adalah bulan-bulan kering dimana produksi rumput untuk pakan ternak sangat kurang. Bagi tanaman tahunan kegiatan penyiangan dimaksudkan untuk menghilangkan tanaman pengganggu yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan mengurangi kompetisi dengan tanaman pengganggu dalam memperoleh air, unsur hara, dan cahaya matahari. Kegiatan penyiangan ini dilakukan secara perorangan (individual) setiap hari.
(5) Pemangkasan Cabang ( Prunning )
Kegiatan pemangkasan cabang biasanya bersifat kondisional karena tanaman tahunan sudah cukup besar sehingga menaungi tanaman pertanian sehingga mengganggu produktivitas tanaman pertanian. Kegiatan prunning dilakukan setelah tanaman kayu berusia kurang lebih 5 tahun, sedangkan intensitasnya tergantung dari kebutuhan. Melalui kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan kebutuhan energi rumah tangganya. Lama kegiatan ini tidak bisa ditentukan biasanya tiap hari pada saat petani memiliki waktu luang. Hasil dari kegiatan prunning yang berupa cabang dan ranting kayu digunakan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan energi berupa kayu bakar, sedangkan hasil kegiatan prunning yang berupa daun-daunan terutama untuk jenis Mahoni, Gmelina dan Sengon Laut juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak. Esensi dari kegiatan prunning ini adalah mengurangi gangguan tanaman pertanian berupa naungan dari tanaman tahunan, meningkatkan kualita batang dengan mengurangi cacat mata kayu, memenuhi kebutuhan energi berupa kayu bakar, serta untuk memenuhi kebutuhan akan hijauan makanan ternak.
(6) Penjarangan
Kegiatan penjarangan juga bersifat kondisional karena penjarangan baru dilakukan bila pemangkasan cabang ( Prunning ) dirasa tidak dapat mengatasi/mengurangi naungan. Di samping itu kegiatan penjarangan berguna untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik terhadap tegakan tinggal sehingga pertumbuhannya dapat optimal. Kegiatan penjarangan secara umum masih sulit dilakukan, beberapa dilakukan setelah tanaman tahunan berumur diatas 7 tahun, di mana pada saat itu tanaman kayu sudah menaungi tanaman pertanian. Kayu hasil kegiatan penjarangan juga dapat digunakan sebagai sumber pendapatan antara bagi petani hutan rakyat.
3.1.3. Pemanenan
Kegiatan pemanenan/penebangan kayu pada hutan rakyat dilakukan sesuai dengan kebutuhan petani pemilik hutan rakyat. Kayu yang dipanen/ditebang adalah kayu yang sudah cukup umur dan sudah laku di pasaran, sedangkan bentuk dan ukuran kayu dijadikan faktor penentu harga, sehingga makin baik kualita kayu maka harga kayu makin mahal. Kayu dijual oleh petani kepada pengumpul dalam keadaan kayu berdiri, sedangkan sistem penebangannya umumnya berdasarkan kebutuahan pemilik pohon, bebeapa daerah seperti di Kabupaten Wonogiri didasarkan atas peraturan dan tata tertib (Perda) atau kelompok tani yakni sistem tebang butuh sertifikasi.
3.2. Aspek Kelembagaan
Aspek kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan baik formal maupun nonformal yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat. Kelembagaan formal meliputi organisasi/lembaga yang berada di bawah struktur pemerintah, baik pemerintah Daerah Tingkat I maupun pemerintah Daerah Tingkat II, sedangkan kelembagaan nonformal berupa organisasi kelompok tani. Kelembagaan formal dalam prakteknya lebih berperan dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada petani baik melalui kelompok tani maupun secara individual, sedangkan lembaga nonformal lebih berperan dalam operasional pengelolaan hutan rakyat.
Kontribusi kelembagaan formal adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan teknis tentang pengelolaan hutan rakyat, serta membantu kelompok tani dalam menyusun Perencanaan Pengelolaan Hutan Rakyat (PPHR). Di samping itu, kelembagaan formal juga memberi bantuan berupa insentif dalam bentuk proyek yang membantu petani bila ingin melakukan penanaman tanaman berkayu di lahan miliknya. Lembaga formal juga dapat berperan sebagai mediator yang menghubungkan kelompok tani dengan instansi/lembaga lain yang dapat bekerja sama dalam pengembangan hutan rakyat.
Target dan tujuan yang ingin dicapai oleh kelembagaan formal dalam pengembangan hutan rakyat adalah mengembangkan hutan terutama di luar kawasan hutan negara. Arahan pengembangan hutan rakayat tersebut diharapkan mampu menciptakan kawasan hutan seluas 30% dari total luas daratan dalam suatu DAS. Untuk kelembagaan nonformal kontribusi yang diberikan lebih besar karena lembaga nonformal yang berupa Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) DAS merupakan alternatif solusi yang dapat membantu petani apabila mereka mengalami permasalahan di dalam mengelola hutan rakyat miliknya. KTHR-DAS dapat berperan secara langsung dalam membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat milik mereka, diantaranya kebutuhan akan tenaga kerja, kebutuhan akan modal, dan kebutuhan akan peralatan pertanian. Tujuan KTHR - DAS adalah mewujudkan tujuan bersama dalam mengelola hutan rakyat yang lebih menguntungkan mereka dalam satuan unit anak sungai dan dikelola secara komunal, sesuai aturan yang disepakatinya.
III. PENUTUP
Masyarakat melakukan pembangunan hutan rakyat di lahan milik mereka didorong atas kesadarannya akan besarnya peranan tanaman berkayu dilahan milik mereka. Pada awalnya tanaman berkayu dilahan mereka ditanam untuk mengurangi erosi tanah, meningkatkan produktivitas lahan kritis, melindungi sumber air, serta meningkatkan kemampuan petani dalam melestarikan sumber daya alam. Dalam perkembangannya masyarakat banyak memperoleh manfaat dari adanya tanaman berkayu di lahan milik mereka, baik manfaat ekonomis maupun manfaat ekologis. Manfaat ekonomis yang dapat dirasakan adalah tambahan pendapatan dari hasil tanaman tahunan, serta tambahan sumber hijauan makanan ternak. Manfaat ekologis yang dirasakan adalah peningkatan kesuburan tanah, dampak erosi tanah dapat diperkecil dan dikendalikan, dan lestarinya sumber mata air sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kekurangan air terutama pada musim kemarau.
Banyaknya manfaat yang diperoleh oleh masyarakat mendorong mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan hutan rakyat dan meningkatkan kemampuannya dalam pengelolaan hutan rakyat, sehingga manfaat yang diterima dapat maksimal untuk jangka waktu yang tak terbatas. Atas dasar itu, masyarakat selalu berusaha mengembangkan metode pengelolaan hutan yang telah dilakukan dengan mencari informasi dan pengetahuan yang baru dalam pengelolaan hutan guna menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi

Pustaka

Anonim. 2005. Revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan indonesia. Jakarta.
Hasanu Simon. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
.Sudarmalik, Y. Rochmayanto dan Purnomo (2006). PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan . Litbang Riau.
Umu Solean dan Suwarji. 2007. Mencari indikator cepat untuk menilai perubahan kualitas lahan di bawah tegakan wana tani (agroforestri) lahan kering marjinal. Prosiding HITI IX Yogyakarta.
MENANAM JABON (Anthocephalus cadamba )
Model Rimbawan DAS Solo
“Iuran Bersama, Milik Bersama, Hasil Bersama”.

GAMBARAN UMUM
Jabon (Anthocephalus cadamba ) merupakan jenis tanaman hutan yang relatif baru dalam budidaya hutan rakyat. Jenis ini cepat tumbuh dan mudah dalam pemeliharaan. Jabon di pilih sebagai peluang menjanjikan akibat kebutuhan kayu yang terus meningkat dan merosotnya pasokan kayu sengon karena serangan karak kuru, juga meningkatnya bahan baku industri playwood di pulau jawa. Pengelolaan usaha jabon DAS Solo di kelola oleh komunitas Daun Iman (Dana Pensiun Ijo Mandiri) DAS Solo.
Komunitas Daun Iman(DI) DAS Solo merupakan komunitas rimbawan PNS Dephut, yang didirikan secara spontan oleh sesama karyawan BPDAS Solo. Semangat yang dibangun adalah menggalang semangat profesi dan menguatkan jiwa korsa rimbawan dimanapun, dalam bentuk kegiatan tanam menanam jenis kayu, berbasis Rehabilitasi Lahan Interpreneur.
Pada awalnya berdiri Daua Iman (2002), kegiatan terkonsentrasi pada tanaman Jati, berkembang dan telah memiliki lahan 5,6 ha bersertifikat, tahun 2010 ini mencoba jenis cepat tumbuh, khususnya Jabon.
Sumber dana diperoleh dari komunitas dengan komitmen “Iuran Bersama, Milik Bersama, Hasil Bersama”. Kebanggaan kegiatan yang hendak dicapai adalah kebersamaan; hasil kayu dan pengembangan silvikultur hutan rakyat intensif; pengembangan informasi yang didasari atas ilmu dan kekaryaan rimbawan; sekaligus membangun tekad partisipasi PNS Dephut secara kongkrit mendukung RHL dan perbaikan lingkungan.